Aulia K

07 Januari 2025 11:21

Iklan

Aulia K

07 Januari 2025 11:21

Pertanyaan

Tuliskan satu cerpen pendidikan

Tuliskan satu cerpen pendidikan 

 

Ikuti Tryout SNBT & Menangkan E-Wallet 100rb

Habis dalam

02

:

19

:

29

:

22

Klaim

21

2

Jawaban terverifikasi

Iklan

Ardiyatman K

07 Januari 2025 16:11

Jawaban terverifikasi

<p>Bunga di Tepi Jalan</p><p>Di sebuah desa kecil bernama Sukamaju, tinggal seorang anak bernama Budi. Ia anak yang cerdas namun berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya bekerja sebagai petani, dan ibunya membantu di ladang. Meski demikian, semangat Budi untuk belajar tak pernah padam.</p><p>Setiap pagi, Budi berjalan kaki sejauh lima kilometer menuju sekolah. Ia selalu membawa buku di tangannya, membaca sambil berjalan. Di tepi jalan, ada sebuah taman kecil dengan bunga-bunga indah. Budi sering berhenti di sana, duduk sejenak, dan melanjutkan membaca sebelum melanjutkan perjalanan.</p><p>Guru di sekolahnya, Bu Ratna, sangat menyayangi Budi. Ia tahu bahwa Budi memiliki potensi besar, tetapi sayangnya, keadaan ekonomi sering menjadi penghalang. Suatu hari, Bu Ratna berbicara dengan Budi setelah jam pelajaran selesai.</p><p>"Budi, apa cita-citamu?" tanya Bu Ratna.</p><p>Budi menunduk sejenak. "Saya ingin menjadi guru seperti Bu Ratna, supaya bisa membantu anak-anak di desa ini mendapatkan pendidikan yang lebih baik."</p><p>Jawaban itu membuat Bu Ratna terharu. Ia bertekad untuk membantu Budi menggapai cita-citanya.</p><p>Bu Ratna mengusulkan agar Budi mengikuti lomba esai tingkat kabupaten. Tema lomba itu adalah "Pendidikan untuk Masa Depan." Budi awalnya ragu. "Bu, saya tidak punya banyak waktu untuk menulis. Saya harus membantu orang tua di ladang."</p><p>Namun, Bu Ratna meyakinkannya. "Budi, ini adalah peluangmu untuk menunjukkan kemampuanmu. Aku akan membantumu menyusun jadwal agar tetap bisa membantu orang tua dan menulis."</p><p>Budi akhirnya setuju. Setiap malam, dengan lampu minyak yang redup, ia menulis esai sambil menuangkan segala pemikirannya tentang pentingnya pendidikan. Bu Ratna membimbingnya, memberi masukan, dan membantu menyempurnakan tulisannya.</p><p>Beberapa minggu kemudian, pengumuman pemenang lomba tiba. Nama Budi disebut sebagai pemenang pertama. Ia tak percaya, begitu pula keluarganya. Hadiah berupa beasiswa pendidikan menjadi harapan baru bagi mereka.</p><p>Hari itu, di taman kecil tempat bunga-bunga tumbuh, Budi berdiri sambil memegang piala dan berkata pada dirinya sendiri, "Aku akan terus berjuang. Pendidikan adalah jalan untuk masa depan yang lebih baik."</p><p>Bu Ratna tersenyum dari kejauhan. Ia tahu, bunga kecil di tepi jalan itu kini mulai bermekaran, membawa harapan bagi desa kecil Sukamaju.</p>

Bunga di Tepi Jalan

Di sebuah desa kecil bernama Sukamaju, tinggal seorang anak bernama Budi. Ia anak yang cerdas namun berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya bekerja sebagai petani, dan ibunya membantu di ladang. Meski demikian, semangat Budi untuk belajar tak pernah padam.

Setiap pagi, Budi berjalan kaki sejauh lima kilometer menuju sekolah. Ia selalu membawa buku di tangannya, membaca sambil berjalan. Di tepi jalan, ada sebuah taman kecil dengan bunga-bunga indah. Budi sering berhenti di sana, duduk sejenak, dan melanjutkan membaca sebelum melanjutkan perjalanan.

Guru di sekolahnya, Bu Ratna, sangat menyayangi Budi. Ia tahu bahwa Budi memiliki potensi besar, tetapi sayangnya, keadaan ekonomi sering menjadi penghalang. Suatu hari, Bu Ratna berbicara dengan Budi setelah jam pelajaran selesai.

"Budi, apa cita-citamu?" tanya Bu Ratna.

Budi menunduk sejenak. "Saya ingin menjadi guru seperti Bu Ratna, supaya bisa membantu anak-anak di desa ini mendapatkan pendidikan yang lebih baik."

Jawaban itu membuat Bu Ratna terharu. Ia bertekad untuk membantu Budi menggapai cita-citanya.

Bu Ratna mengusulkan agar Budi mengikuti lomba esai tingkat kabupaten. Tema lomba itu adalah "Pendidikan untuk Masa Depan." Budi awalnya ragu. "Bu, saya tidak punya banyak waktu untuk menulis. Saya harus membantu orang tua di ladang."

Namun, Bu Ratna meyakinkannya. "Budi, ini adalah peluangmu untuk menunjukkan kemampuanmu. Aku akan membantumu menyusun jadwal agar tetap bisa membantu orang tua dan menulis."

Budi akhirnya setuju. Setiap malam, dengan lampu minyak yang redup, ia menulis esai sambil menuangkan segala pemikirannya tentang pentingnya pendidikan. Bu Ratna membimbingnya, memberi masukan, dan membantu menyempurnakan tulisannya.

Beberapa minggu kemudian, pengumuman pemenang lomba tiba. Nama Budi disebut sebagai pemenang pertama. Ia tak percaya, begitu pula keluarganya. Hadiah berupa beasiswa pendidikan menjadi harapan baru bagi mereka.

Hari itu, di taman kecil tempat bunga-bunga tumbuh, Budi berdiri sambil memegang piala dan berkata pada dirinya sendiri, "Aku akan terus berjuang. Pendidikan adalah jalan untuk masa depan yang lebih baik."

Bu Ratna tersenyum dari kejauhan. Ia tahu, bunga kecil di tepi jalan itu kini mulai bermekaran, membawa harapan bagi desa kecil Sukamaju.


Iklan

Syifa A

07 Januari 2025 11:39

Jawaban terverifikasi

<p>Impian Pak Guru dan Muridnya</p><p>Di sebuah desa kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota, terdapat sebuah sekolah dasar yang hanya memiliki satu ruang kelas. Sekolah itu dipimpin oleh seorang guru muda bernama Pak Arman. Ia baru saja diangkat menjadi guru di desa tersebut. Pak Arman dikenal sebagai sosok yang sederhana, penuh semangat, dan selalu memotivasi murid-muridnya untuk bermimpi besar.</p><p>Salah satu muridnya yang paling rajin adalah Dina, seorang anak perempuan berusia 10 tahun. Dina selalu duduk di barisan depan, dengan buku catatannya yang penuh dengan coretan warna-warni. Meskipun seragamnya sudah lusuh dan sepatunya berlubang, semangat Dina tak pernah pudar. Ia bercita-cita menjadi dokter agar bisa membantu orang-orang di desanya yang sulit mendapatkan pelayanan kesehatan.</p><p>Namun, perjuangan Dina tidak mudah. Ayahnya bekerja sebagai buruh tani, sementara ibunya hanya seorang penjual sayur keliling. Kondisi ekonomi keluarga mereka sering membuat Dina merasa kecil hati.</p><p>Suatu hari, saat jam pelajaran selesai, Dina memberanikan diri bertanya kepada Pak Arman.<br>"Pak, apa benar orang miskin seperti saya bisa menjadi dokter?" tanyanya dengan suara ragu.</p><p>Pak Arman tersenyum lembut dan menatap Dina dengan penuh keyakinan.<br>"Dina, menjadi dokter atau tidak bukan ditentukan oleh seberapa kaya atau miskin kita. Itu ditentukan oleh seberapa keras kita berusaha dan seberapa besar kita percaya pada diri sendiri. Kamu punya semangat belajar yang luar biasa, dan itu sudah menjadi modal besar."</p><p>Kata-kata Pak Arman membuat Dina termotivasi. Ia semakin giat belajar, bahkan rela belajar di bawah cahaya lampu minyak saat listrik di rumahnya padam. Pak Arman pun tak tinggal diam. Ia sering memberikan Dina buku-buku tambahan yang ia beli dari kota, meski harus menyisihkan sebagian kecil gajinya yang juga tak seberapa.</p><p>Hari demi hari berlalu, Dina terus menunjukkan kemajuan. Ia sering memenangkan lomba-lomba sains di tingkat kecamatan. Melihat potensi Dina, Pak Arman mengajukan rekomendasi kepada pemerintah kabupaten agar Dina mendapatkan beasiswa. Berkat usaha itu, Dina berhasil melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tanpa harus membebani orang tuanya.</p><p>Tahun-tahun berlalu. Kini, Dina telah menjadi seorang dokter. Ia kembali ke desa tempat ia dibesarkan dan membuka klinik kecil untuk membantu masyarakat. Suatu hari, ia menemui Pak Arman yang sudah mulai menua tetapi masih mengajar dengan semangat yang sama seperti dulu.</p><p>"Pak, terima kasih untuk semua yang Bapak lakukan. Tanpa Bapak, mungkin saya tidak akan pernah sampai di titik ini," ucap Dina sambil menahan air mata.</p><p>Pak Arman tersenyum bangga.<br>"Dina, melihat murid-muridku sukses adalah hadiah terbesar dalam hidupku. Teruslah berbuat baik dan menginspirasi orang lain."</p><p>Kisah Dina menjadi inspirasi bagi anak-anak di desanya bahwa pendidikan adalah jembatan untuk menggapai impian, apa pun latar belakangnya. Pak Arman dan Dina telah membuktikan bahwa dengan semangat, kerja keras, dan keyakinan, tidak ada yang mustahil.</p>

Impian Pak Guru dan Muridnya

Di sebuah desa kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota, terdapat sebuah sekolah dasar yang hanya memiliki satu ruang kelas. Sekolah itu dipimpin oleh seorang guru muda bernama Pak Arman. Ia baru saja diangkat menjadi guru di desa tersebut. Pak Arman dikenal sebagai sosok yang sederhana, penuh semangat, dan selalu memotivasi murid-muridnya untuk bermimpi besar.

Salah satu muridnya yang paling rajin adalah Dina, seorang anak perempuan berusia 10 tahun. Dina selalu duduk di barisan depan, dengan buku catatannya yang penuh dengan coretan warna-warni. Meskipun seragamnya sudah lusuh dan sepatunya berlubang, semangat Dina tak pernah pudar. Ia bercita-cita menjadi dokter agar bisa membantu orang-orang di desanya yang sulit mendapatkan pelayanan kesehatan.

Namun, perjuangan Dina tidak mudah. Ayahnya bekerja sebagai buruh tani, sementara ibunya hanya seorang penjual sayur keliling. Kondisi ekonomi keluarga mereka sering membuat Dina merasa kecil hati.

Suatu hari, saat jam pelajaran selesai, Dina memberanikan diri bertanya kepada Pak Arman.
"Pak, apa benar orang miskin seperti saya bisa menjadi dokter?" tanyanya dengan suara ragu.

Pak Arman tersenyum lembut dan menatap Dina dengan penuh keyakinan.
"Dina, menjadi dokter atau tidak bukan ditentukan oleh seberapa kaya atau miskin kita. Itu ditentukan oleh seberapa keras kita berusaha dan seberapa besar kita percaya pada diri sendiri. Kamu punya semangat belajar yang luar biasa, dan itu sudah menjadi modal besar."

Kata-kata Pak Arman membuat Dina termotivasi. Ia semakin giat belajar, bahkan rela belajar di bawah cahaya lampu minyak saat listrik di rumahnya padam. Pak Arman pun tak tinggal diam. Ia sering memberikan Dina buku-buku tambahan yang ia beli dari kota, meski harus menyisihkan sebagian kecil gajinya yang juga tak seberapa.

Hari demi hari berlalu, Dina terus menunjukkan kemajuan. Ia sering memenangkan lomba-lomba sains di tingkat kecamatan. Melihat potensi Dina, Pak Arman mengajukan rekomendasi kepada pemerintah kabupaten agar Dina mendapatkan beasiswa. Berkat usaha itu, Dina berhasil melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tanpa harus membebani orang tuanya.

Tahun-tahun berlalu. Kini, Dina telah menjadi seorang dokter. Ia kembali ke desa tempat ia dibesarkan dan membuka klinik kecil untuk membantu masyarakat. Suatu hari, ia menemui Pak Arman yang sudah mulai menua tetapi masih mengajar dengan semangat yang sama seperti dulu.

"Pak, terima kasih untuk semua yang Bapak lakukan. Tanpa Bapak, mungkin saya tidak akan pernah sampai di titik ini," ucap Dina sambil menahan air mata.

Pak Arman tersenyum bangga.
"Dina, melihat murid-muridku sukses adalah hadiah terbesar dalam hidupku. Teruslah berbuat baik dan menginspirasi orang lain."

Kisah Dina menjadi inspirasi bagi anak-anak di desanya bahwa pendidikan adalah jembatan untuk menggapai impian, apa pun latar belakangnya. Pak Arman dan Dina telah membuktikan bahwa dengan semangat, kerja keras, dan keyakinan, tidak ada yang mustahil.


Mau pemahaman lebih dalam untuk soal ini?

Tanya ke Forum

Biar Robosquad lain yang jawab soal kamu

Tanya ke Forum

LATIHAN SOAL GRATIS!

Drill Soal

Latihan soal sesuai topik yang kamu mau untuk persiapan ujian

Cobain Drill Soal

Perdalam pemahamanmu bersama Master Teacher
di sesi Live Teaching, GRATIS!

Pertanyaan serupa

a. Tentukan banyak model rumah yang dapat dibuat dari tiga (3) kubus! b. Tentukan banyak model rumah yang dapat dibuat dari empat (4) kubus! Tolong bantu jawab...

6

0.0

Jawaban terverifikasi