Rahmat S

16 Maret 2022 04:17

Iklan

Rahmat S

16 Maret 2022 04:17

Pertanyaan

Tokoh Belanda yang menentang sistem tanam paksa adalah .... A. Baron van Hoevel B. E.F.E. Douwes Dekker C. L. Vitalis D. semua jawaban benar

Ikuti Tryout SNBT & Menangkan E-Wallet 100rb

Habis dalam

00

:

03

:

46

:

58

Klaim

13

1

Jawaban terverifikasi

Iklan

P. Rafika

28 Maret 2022 14:10

Jawaban terverifikasi

Hai Rahmat S., kakak bantu jawab ya. Jawaban yang tepat untuk pertanyaan di atas adalah D. Untuk lebih detailnya, yuk simak penjelasan berikut. Sistem cultuurstelsel membawa perubahan ekonomi yang signifikan bagi Belanda. Berbanding terbalik dengan keadaan rakyat bumiputera. Rakyat semakin menderita, bahkan di Grobogan, Jawa Tengah terjadi kelaparan yang disebabkan oleh pelaksanaan cultuurstelsel. Salah satu sebab terjadinya kondisi ini dikarenakan terjadi penyelewengan aturan-aturan yang tertera dalam cultuurstelsel. Kritik serta tentangan terhadap penyelengan tersebut datang dari kalangan Belanda yang kemudian dikenal dengan nama kalangan liberal. Salah satu tokoh liberal penentang cultuurstelsel, yaitu Eduard Douwes Dekker. Eduard Douwes Dekker yang terkenal dengan nama pena Multatuli pernah bekerja sebagai asisten residen di Lebak, Banten. Selama menjabat, Dekker melihat berbagai penyelewengan yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan cultuurstelsel. Oleh karena penyelewengan yang terjadi, Dekker membuat buku berjudul "Max Havelaar". Buku ini merupakan kritik Multatuli terhadap penjajahan yang terjadi. Bahkan nama penanya yang berarti "saya menderita" juga dianggap bentuk sindiran terhadap Belanda. Selain E. Douwes Dekker, juga dikenal Baron Van Houvell seorang pendeta yang sering berbicara di parleman Belanda mengenai penderitaan bumiputera diakibatkan oleh cultuurstelstel. Ia pun pernah tinggal di Indonesia pada 1847 dan melihat penderitaan rakyat akibat cultuurstelsel. Kemudian ada juga L. Vitalis seorang inspektur pertanian Belanda yang mengusulkan agar tanam paksa dihapuskan karena merugikan pertanian rakyat. Ia menyebutkan bahwa pada 1835, di Priangan, mayat para petani bersebaran karena keletihan dan kelaparan. Berawal dari situ, serangan dari orang-orang non pemerintah mulai menggencar akibat terjadinya kelaparan dan kemiskinan yang terjadi menjelang akhir tahun 1840. Masalah tersebut kemudian diangkat ke permukaan dan menjadi konflik bahwa pemerintah Belanda telah melakukan eksploitasi berlebih terhadap bumiputera Jawa. Oleh karena itu, ketiganya merupakan tokoh yang menentang pelaksanaan cultuurstelsel di Hindia Belanda. Semoga membantu ya.


Iklan

Mau pemahaman lebih dalam untuk soal ini?

Tanya ke AiRIS

Yuk, cobain chat dan belajar bareng AiRIS, teman pintarmu!

Chat AiRIS

LATIHAN SOAL GRATIS!

Drill Soal

Latihan soal sesuai topik yang kamu mau untuk persiapan ujian

Cobain Drill Soal

Perdalam pemahamanmu bersama Master Teacher
di sesi Live Teaching, GRATIS!

Pertanyaan serupa

. Puncak kemarahan diponegoro terjadi dan hingga meletuslah perang setelah...

14

5.0

Jawaban terverifikasi