TARIAN PENA
Virginia C.C. Pomantow
Di bawah terik matahari aku menyusuri jalan kampung yang tampak tak berpenghuni. Samar-samar nyanyian tonggeret terdengar di sampingku. Bagai melodi yang tak tertata, sekali lagi aku mendengarnya. Sesampai dalam “istana tuaku”, terlihat seorang perempuan tua yang menyambutku dengan hangat. Nasi yang berselimut lauk-pauk tersedia dengan manis di meja makan. Setelah itu, aku masuk ke dalam ruang yang mengetahui setiap gerak-gerikku. Aku mulai memegang pena dan menggoreskannya di atas lembaran putih. Kutuang semua rasa yang bergejolak dalam hatiku.
Tiba-tiba langit mulai gelap. Kuterlelap dalam buaian dingin yang kalap, bermimpi seorang pangeran gagah datang dengan kereta emas menjemputku dan merangkulku.
Pagi cerah menanti sosok pelajar dari ibu pertiwi. Aku berdiri di lantai dua sekolah menanti kawan yang menyapa dengan senyuman. Kutatap pohon dan tanaman yang asri dan tersusun pula dengan rapi. Angin menyambar wajahku.
“Fuuuuuuuuuu....”
Seketika aku merasa tersengat dan memiliki semangat yang tak kunjung pudar. Di halaman sekolah para siswa bermain basket dengan lihai dan sebagian siswi berbincang-bincang dengan santai. Aku senang sekali menuangkan semua yang kulihat dalam sebuah tulisan, baik itu puisi maupun diary, hanya dengan kata yang mudah dipahami dan makna yang tersirat dengan sentuhan rasa kasih. Sungguh, aku tak ingin orang banyak mengetahui apa yang tersirat dalam catatanku.
Waktu berjalan begitu cepat menyongsong matahari yang mengingini senja. Besi kuning mulai menjerit. “Teng, teng, teng.” Waktunya pulang ke “istanaku”.
Seperti biasa, setibaku di istana tuaku, perempuan tua menyambutku dengan hangat. Terlihat nasi yang berselendangkan lauk-pauk, membekaskan lezat pada lidahku. Tak tahu mengapa, saat itu aku mengucapkan terima kasih pada perempuan tua itu. Aku pun masuk ke dalam ruang yang mengetahui gerak-gerikku dengan mengajak pena menari di atas lembaran putih. Kali ini, terpikirkan olehku sosok perempuan tua yang selalu terbayang di benakku.
Susunan kalimat pun sudah selesai.
“Aryo!” teriakku kepada lelaki yang belum pernah kudapati.
Ketika aku membuka mata, Aryo sudah berada di depanku. Seketika pipiku mulai memerah dan bibirku menjadi sedikit kaku.
“Apakah ini mimpi. Ini masih terlalu dini. Lagipula, aku masih terlalu muda!” teriakku dalam hati.
Air dingin pun jatuh membasahi wajahku. Perlahan aku membuka mata dan mendapati ibuku memegang gayung air dari kamar mandi.
“Ibu, mengapa Ibu menyiram air ke wajahku?” tanyaku.
“Kamu tidur seperti kerbau,” canda ibu. Keesokan harinya, pagi-pagi buta, perempuan tua menyodorkan susu yang berbalut sediri kopi. Terasa lengkap akhir pekan ini. Kuintip dia dari balik lembaran kain yang tergantung di bawah ventilasi, dia di sana. Perempuan tua itu duduk di sebuah kayu berlapis kapuk yang membatu. Aku sedikit tersenyum manis.
“Hemmm....” Wajahnya tampak di bawah naungan yang diharapkan selalu terjadi dan berharap waktu terus begini.
“Ibu telah meninggal” kata seseorang yang menyapaku dengan tepukan di bahu kanan. Aku terdiam dan tak dapat berbuat apa pun, selain menangis bak orang gila.
“Aaah.... Hee.... Tidak! Tidak! Ibuku tidak akan meninggalkan- ku,” jeritan keras yang tak pernah kuteriakkan sepanjang hidupku.
Seketika aku tersadar dari lamunku. ‘Uhh, untung saja itu hanya sebuah khayalan baru yang terlintas di kepalaku,’ kesalku.
Pada sore hari menjelang bulan naik perlahan menggantikan surya, perempuan itu pulang dengan letihnya. Wajah lesu, tangan yang lemas, dan kaki yang perlahan membeku. Kulihat dari seberang utara ruang tamu. Aku melangkahkan kaki dengan pasti dan memeluk tubuh perempuan tua itu, walau peluhnya pun menempel di bajuku.
“Bu, maafkan aku. Aku tidak akan membuatmu kesal dan capek,” tangisku yang tersedu dalam sesal.
“Eh, ada apa, sih, kamu ini tiba-tiba memeluk Ibu. Minta maaf pula. Tumben-tumbenan,” kata ibu dengan bingung.
Kemudian, aku pergi ke ruang yang mengetahui gerak-gerikku. Kuhanyut dalam renungan pada malam sepi ini, merasakan dua hati yang saling melukai, antara sesal dan sedih. Dua rasa yang sejenis, tetapi memiliki arti masing-masing yang sangat mendalam. Sekali lagi aku menorehkan pena di hadapan lembaran kertas putih. Lilin kecil yang memercikkan api jingga menemaniku saat itu. Bersama itu, aku berdiam diri sambal menulis sebuah kisahku hari itu. Perlahan aku memejamkan mata dan bunyi rekaman lama terdengar.
Aku terbangun dan keluar dari ruang yang mengetahui gerak-gerikku. Aku terkejut melihat banyak orang mengerumuni kamar perempuan tua itu. Kupandangi arah kamar perempuan tua itu. Lututku terjatuh perlaham menghampiri lantai. Aku tak dapat berbicara, tanganku dingin bak es yang keluar dari freezer.
“Ibu!” teriakku sekuat tenaga sambil meratapi malangnya nasibku. Perempuan tua tak dapat mengatakan apa pun, hanya terdiam, membeku, dan tergeletak, tinggal menunggu untuk dikebumikan. Aku hanya menangis, menangis tak karuan.
Sekarang hari-hariku dipenuhi sesal yang tak berarti. Berangkat ke sekolah dengan seragam kumuh, tidak pula membuat sarapan karena malas dan resah, serta serintih harapan tak dapat kuadu. Masa tersulit pun kualami. Merajut asa tanpa sosok ibu di sisiku. Rindu tak terbalaskan. Bak pungguk merindukan bulan.
“Ibu, aku rindu. Aku ingin Ibu masih bersamaku. Aku tak ingin semua ini terjadi. Aku lelah dengan semua kejadian ini!” jeritku kepada perempuan tua itu.
“Tamat. Sekarang sudah larut malam. Sebaiknya cepat tidur. Selamat malam, Putriku,” kata ibuku sambil mencium keningku.
“Selamat malam juga, Ibu,” jawabku sambil menarik selimut mungil dan terlelap pada malam itu dengan embusan angin yang menyapa dengan dingin. (Sumber: Di Sini Rinduku Tuntas; Antologi Cerita Pendek Bengkel Sastra 2019Balai Bahasa Sulawesi Utara, 2019)
2. Bagaimana alur dibangun dalam cerita tersebut?
325