Arizka P

17 April 2024 06:25

Iklan

Iklan

Arizka P

17 April 2024 06:25

Pertanyaan

(1) Irene adalah anak yang rajin. (2) dia selalu bangun sebelum subuh setiap hari (3) biasanya ia sering membantu ibunya berjualan di pasar sebelum berangkat ke kampus. (4) game kosong di kampusnya iya sering ikut berjualan di warung ibunya. Berdasarkan paragraf di atas, kalimat penjelas terletak pada nomor...


14

2

Jawaban terverifikasi

Iklan

Iklan

Lucius F

17 April 2024 14:28

Jawaban terverifikasi

<p>Kalimat penjelas paragraf diatas terletak pada nomor 2, 3 dan 4</p><p>Penjelasan: kalimat nomor 2, 3, dan 4 menjelaskan kalimat utama (kalimat nomor 1).</p>

Kalimat penjelas paragraf diatas terletak pada nomor 2, 3 dan 4

Penjelasan: kalimat nomor 2, 3, dan 4 menjelaskan kalimat utama (kalimat nomor 1).


Iklan

Iklan

Nanda R

Gold

21 April 2024 09:46

Jawaban terverifikasi

<p>Kalimat penjelas terletak pada nomor 3, "biasanya ia sering membantu ibunya berjualan di pasar sebelum berangkat ke kampus." Kalimat ini menjelaskan kebiasaan Irene sebelum berangkat ke kampus.</p><p>&nbsp;</p><p>&nbsp;</p>

Kalimat penjelas terletak pada nomor 3, "biasanya ia sering membantu ibunya berjualan di pasar sebelum berangkat ke kampus." Kalimat ini menjelaskan kebiasaan Irene sebelum berangkat ke kampus.

 

 


lock

Yah, akses pembahasan gratismu habis


atau

Dapatkan jawaban pertanyaanmu di AiRIS. Langsung dijawab oleh bestie pintar

Tanya Sekarang

Mau pemahaman lebih dalam untuk soal ini?

Tanya ke Forum

Biar Robosquad lain yang jawab soal kamu

Tanya ke Forum

Roboguru Plus

Dapatkan pembahasan soal ga pake lama, langsung dari Tutor!

Chat Tutor

Perdalam pemahamanmu bersama Master Teacher
di sesi Live Teaching, GRATIS!

Pertanyaan serupa

Bacalah teks cerpen berikut dengan saksama. Lelaki yang Menderita Bila Dipuji Mardanu seperti kebanyakan lelaki, senang jika dipuji. Tetapi akhir-akhir ini, dia merasa risi bahkan seperti terbebani. Pujian yang menurut Mardanu kurang beralasan sering diterimanya. Ketika bertemu teman-teman untuk mengambil uang pensiun, ada saja yang bilang, "lni Mardanu, satu-satunya teman kita yang uangnya diterima utuh karena tak punya utang." Pujian itu sering diiringi acungan jempol. Ketika berolahraga jalan kaki pagi hari mengelilingi alun-alun, orang pun memujinya, " Pak Mardanu memang hebat. Usianya tujuh puluh lima tahun, tetapi badan tampak masih segar, berjalan tegak, dan kedua kaki tetap kekar." Kedua anak Mardanu, yang satu jadi pemilik kios kelontong dan satunya lagi jadi sopir truk semen, juga jadi bahan pujian, "Pak Mardanu telah tuntas mengangkat anak-anak hingga semua jadi orang mandiri." Malah seekor burung kutilang yang dipelihara Mardanu tak luput jadi bahan pujian. "Kalau bukan Pak Mardanu yang memelihara, burung kutilang itu tak akan demikian lincah dan cerewet kicaunya." Mardanu tidak mengerti mengapa hanya karena uang pensiun yang utuh, badan yang sehat, anak yang mapan, bahkan burung piaraan membuat orang sering memujinya. Bukankah itu hal biasa yang semua orang bisa jika mau? Bagi Mardanu, pujian hanya pantas diberikan kepada orang yang telah melakukan pekerjaan luar biasa dan berharga dalam kehidupan. Mardanu merasa belum pernah melakukan pekerjaan seperti itu. Dari sejak muda sampai menjadi kakek-kakek, dia belum berbuat jasa apa pun. lni yang membuatnya menderita karena pujian itu seperti menyindir-nyindirnya. Enam puluh tahun yang lalu ketika bersekolah, dinding ruang kelasnya digantungi gambar para pahlawan. Juga para tokoh bangsa. Tentu saja mereka telah melakukan sesuatu yang luar biasa bagi bangsanya. Mardanu juga tahu dari cerita orang-orang, pamannya sendiri adalah seorang pejuang yang gugur di medan perang kemerdekaan. Orang-orang sering memuji mendiang paman. Cerita tentang sang paman kemudian dikembangkan sendiri oleh Mardanu menjadi bayangan kepahlawanan. Seorang pejuang muda dengan bedil bersangkur, ikat kepala pita merah-putih, maju dengan gagah menyerang musuh, lalu roboh ke tanah dan gugur sambil memeluk bumi pertiwi. Mardanu amat terkesan oleh kisah kepahlawanan itu. Mardanu kemudian mendaftarkan diri masuk tentara pada usia sembilan belas. ljazahnya hanya SMP dan dia diterima sebagai prajurit tamtama. Kegembiraannya meluap-luap ketika dia terpilih dan mendapat tugas sebagai penembak artileri pertahanan udara. Dia berdebar-debar dan melelehkan air mata ketika untuk kali pertama dilatih menembakkan senjatanya. Sepuluh peluru besar akan menghambur ke langit dalam waktu satu detik. "Pesawat musuh pasti akan meledak, kemudian rontok bila terkena tembakan senjata yang hebat ini," selalu demikian yang dibayangkan Mardanu. Bayangan itu sering terbawa ke alam mimpi. Suatu malam dalam tidurnya, Mardanu mendapat perintah siaga tempur. Persiapan hanya setengah menit. Pesawat musuh akan datang dari utara. Mardanu melompat dan meraih senjata artilerinya. Tangannya berkeringat, jarinya lekat pada tuas pelatuk. Matanya menatap tajam ke langit utara. Terdengar derum pesawat yang segera muncul sambil menabur tentara payung. Mardanu menarik tuas pelatuk dan ratusan peluru menghambur ke angkasa dalam hitungan detik. Ya Tuhan pesawat musuh itu mendadak oleng dan mengeluarkan api. Terbakar. Menukik dan terus menukik. Tentara payung masih berloncatan dari perut pesawat dan Mardanu mengarahkan tembakannya ke sana. Ya Tuhan, tiga parasut yang sudah mengembang mendadak kuncup lagi kena terjangan peluru Mardanu. Tiga prajurit musuh meluncur bebas jatuh ke bumi. Tubuh mereka pasti akan luluh lantak begitu terbanting ke tanah. Mardanu hampir bersorak namun tertahan oleh kedatangan pesawat musuh yang kedua. Mardanu memberondongnya lagi. Kena. Namun, pesawat itu sempat menembakkan peluru kendali yang meledak hanya tiga meter di sampingnya. Tubuh Mardanu terlempar ke udara oleh kekuatan ledak peluru itu dan jatuh ke lantai kamar tidur sambil mencengkeram bantal. Ketika tersadar, Mardanu kecewa berat, mengapa pertempuran hebat itu hanya ada dalam mimpi. Andai kata itu peristiwa nyata, dia telah melakukan pekerjaan besar dan luar biasa. Bila demikian, Mardanu mau dipuji, mau juga menerima penghargaan. Meski demikian, Mardanu selalu mengenang dan mengawetkan mimpi i tu dalam ingatannya. Apalagi sampai Mardanu dipindahtugaskan ke bidang administrasi teritorial lima tahun kemudian, perang dan serangan udara musuh tidak pernah terjadi. Pekerjaan administrasi adalah hal biasa yang begitu datar dan tak ada nilai istimewanya. Untung Mardanu hanya empat tahun menjalankan tugas itu, lalu tanpa terasa masa persiapan pensiun datang. Mardanu mendapat tugas baru menjadi anggota Komando Rayon Militer di kecamatannya. Di desa tempat dia tinggal, Mardanu juga bertugas menjadi Bintara Pembina Desa. Selama menjalani tugas teritorial ini pun, Mardanu tidak pernah menemukan kesempatan melakukan sesuatu yang penting dan bermakna sampai dia pada umur lima puluh tahun. Pagi ini, Mardanu berada di becak langganannya yang sedang meluncur ke kantor pos. Dia mau ambil uang pensiun. Kosim si abang becak sudah ubanan, pipinya mulai lekuk ke dalam. Selama mengayuh becak, napasnya terdengar megap-megap. Namun, seperti biasa, dia mengajak Mardanu bercakap-cakap. "Pak Mardanu mah senang ya, tiap bulan tinggal ambil uang banyak di kantor pos," kata si Kosim di antara tarikan napasnya yang berat. Ini juga pujian yang terasa membawa beban. Dia jadi ingat selama hidup belum pernah melakukan apa-apa. Selama jadi tentara belum pernah terlibat perang, bahkan belum juga pernah bekerja sekeras tukang becak di belakangnya. Sementara Kosim pernah bilang, dirinya sudah beruntung bila sehari mendapat lima belas ribu rupiah. Beruntung, karena dia sering mengalami dalam sehari tidak mendapatkan serupiah pun. Masih bersama Kosim, pulang dari kantor pos, Mardanu singgah ke pasar untuk membeli pakan burung kutilangnya . Sampai di rumah, Kosim diberinya upah yang membuat tukang becak itu tertawa. Setelah itu, terdengar kicau kutilang di kurungan yang tergantung di kasau emper rumah. Burung itu selalu bertingkah bila didekati majikannya . Mardanu belum menaruh pakan ke wadahnya di sisi kurungan. Dia ingin lebih lama menikmati tingkah burungnya: mencecet, mengibaskan sayap, dan merentang ekor sambil melompat - lompat. Mata Mardanu tidak berkedip menatap piaraannya. Namun, mendadak dia harus menengok ke bawah karena ada sepasang tangan mungil memegangi kakinya. ltu tangan Manik, cucu perempuan. "ltu burung apa, Kek?" tanya Manik. Rasa ingin tahu terpancar di wajahnya yang sejati. "Namanya burung kutilang. Bagus, kan?" Manik diam. Dia tetap menengadah, matanya terus menatap ke dalam kurungan. "O, jadi itu burung kutilang , Kek? Aku sudah lama tahu burungnya, tapi baru sekarang tahu namanya. Kek, aku bisa nyanyi . Nyanyi burung kutilang." "Wah, itu bagus. Baiklah cucuku, cobalah menyanyi, Kakek ingin dengar." Manik berdiri diam. Barangkali anak TK itu sedang mengingat cara bagaimana guru mengajarinya menyanyi.yang masih duduk di taman kanak-kanak. Di pucuk pohon cempaka , burung kutilang bernyanyi ... Manik menyanyi sambil menari dan bertepuk-tepuk tangan. Gerakannya lucu dan menggemaskan. Citra dunia anak-anak yang amat menawan . Mardanu terpesona, dan terpesona. Nyanyian cucu terasa merasuk dan mengendap dalam hatinya. Tangannya gemetar. Manik terus menari dan menyanyi. Selesai menari dan menyanyi, Mardanu merengkuh Manik , dipeluk, dan direngkuh ke dadanya. Ditimang-timang, lalu diantar ke ibunya di kios seberang jalan. Kembali dari sana, Mardanu duduk di bangku agak di bawah kurungan kutilangnya. Dia lama terdiam. Berkali-kali ditatapnya kutilang dalam kurungan dengan mata redup. Mardanu gelisah. Bangun dan duduk lagi. Bangun, masuk ke rumah dan keluar lagi. Dalam telinga, terulang-ulang suara cucunya. Di pucuk pohon cempaka, burung kutilang bernyanyi .... Wajah Mardanu menegang, kemudian mengendur lagi. Setelah itu, perlahan-lahan dia berdiri mendekati kurungan kutilang. Dengan tangan masih gemetar, dia membuka pintunya. Kutilang itu seperti biasa, bertingkah elok bila didekati oleh pemeliharanya. Tetapi setelah Mardanu pergi, kutilang itu menjulurkan kepala keluar pintu kurungan yang sudah menganga. Dia seperti bingung berhadapan dengan udara bebas, tetapi akhirnya burung itu terbang ke arah pepohonan. Ketika Manik datang lagi ke rumah Mardanu beberapa hari kemudian, dia menemukan kurungan itu sudah kosong. "Kek, di mana burung kutilang itu?" tanya Manik dengan mata membulat. "Sudah Kakek lepas. Mungkin sekarang kutilang itu sedang bersama temannya di pepohonan." "Kek, kenapa kutilang itu dilepas?" Mata Manik masih membulat. "Yah, supaya kutilang itu bisa bernyanyi di pucuk pohon cempaka, seperti nyanyianmu." Mata Manik makin membulat. Bibirnya bergerak-gerak namun belum ada satu kata pun yang keluar. "Biar kutilang itu bisa bernyanyi di pucuk pohon cempaka? Wah, itu luar biasa. Kakek hebat, hebat banget. Aku suka Kakek," Manik melompat-lompat gembira. Mardanu terkesima oleh pujian cucunya. ltu pujian pertama yang paling enak didengar dan tidak membuatnya menderita. Manik kembali berlenggang-lenggok dan bertepuk-tepuk tangan. Dari mulutnya yang mungil terulang nyanyian kegemarannya. Mardanu mengiringi tarian cucunya dengan tepuk tangan berirama. Entahlah, Mardanu merasa amat lega. Plong. (Cerpen "Lelaki yang Menderita Bila Dipuji" karya Ahmad Tohari dalam Doa yang Terapung: Cerpen Pilihan Kompas 2018) Pada cerpen "Lelaki yang Menderita Bila Dipuji", terdapat beberapa latar. Latar terdiri dari waktu, tempat, dan suasana. Rumah termasuk pada latar ... Sertakan kutipan dari cerita yang membuktikan latar tersebut.

8

0.0

Jawaban terverifikasi

Cat Hitam Mendakwa Pentas menggambarkan halaman belakang Sekolah Menengah Pertama. Ada tembok bagian belakang sekolah itu. Di dekat tembok ada semacam bangku panjang yang sudah luntur warna catnya terletak di sebelah kiri. Tampak pada tembok coretan-coretan yang dibuat dengan cat: PROTHOLS, XELEX, THORAX, dan lain-lainnya. Tampaknya, coretan itu belum lama dibuat. Catnya belum kering benar. Tatkala lakon ini berlangsung, waktu menunjuk saat istirahat. Dari sebelah kiri muncul dua orang anak, siswa dan siswi. Tuti menarik tangan Bakri. (Musik) 01. Tuti : (Nada mengajak) Lihat itu! Ayo, cepat. (Menarik tangan Bakri) Lihat itu. (Mereka tiba di depan tembok yang bercorat-coret dan memandangi tulisan itu-Tentu saja, mereka membelakangi penonton, tetapi tidak perlu dipersoalkan karena ada alasannya) Nah, percaya tidak, kamu? 02. Bakri : Gi-la! (Menyentuh coretan) Catnya belum kering benar, Tut. Padahal tembok ini baru dikapur oleh Pak Dullah seminggu yang lalu, ya, kan? 03. Tuti : (Berjalan menuju bangku dan duduk) Ya, aku juga tahu itu. Terlalu! 04. Bakri : (Membalik ke arah Tuti) Siapa yang terlalu? 05. Tuti : Yaaa ...., siapa lagi? 06. Bakri : Jadi, kamu sependapat dengan Pak Guru bahwa si Muhdom yang membuat corat-coret ini? 07. Tuti : Aku tidak bilang sependapat, aku hanya mengatakan siapa lagi, kan? 08. Bakri : (Mendekati Tuti) Maksudmu siapa? (Duduk) Siapa? 09. Tuti : Aku tidak tahu. (Berdiri, berjalan ke arah tembok, lalu membalik ke arah Bakri) Tapi, kalau aku pikir bahwa di sekolah kita hanya Muhdom yang sering membantu Pak Guru membuat dekorasi panggung, hiasan kelas, dan sebangsanya itu. Mungkin dugaan Pak Guru tidak terlalu salah. 10. Bakri : Ah, kamu ini, Tut. (Berdiri) Masak Muhdom? Dia sahabatku. Dan itu tidak mungkin. 11. Tuti : Selama sahabatmu bukan malaikat, kemungkinan selalu ada. Lagi pula, siapa yang pintar main-main cat seperti ini kecuali Muhdom? 12. Bakri : Jika kemungkinan selalu ada, aku menduga ini perbuatan Nyoman. 13. Tuti : Maksudmu Nyoman sahabatku? ltu tuduhan tidak mendasar. 14. Bakri : (Tersenyum) Nah, kalau menurut kamu bukan Nyoman, menurut aku bukan Muhdom yang membuat coretan-coretan ini. (Berjalan ke bangku dan duduk) Kita memang tidak tahu. Lu enggak ngerti, gue pun demikian pula. Huh! (Memandangi tulisan itu) (Terdengar beberapa anak memanggil-manggil, "Tut, Tuti.") 15. Tuti : (Berteriak). Aku di sini....! (Ita, Tarso, dan Bardas muncul ... ) 16. Bardas : Tut, Muhdom akan disidang nanti selepas jam terakhir! (Menatap coretan dan mendekatinya, lalu geleng-geleng kepala 7 (tujuh) kali) 17. Tuti : Oh, ya? (Memandang Bakri) 18. Bakri : (Kaget, lalu berdiri) Apa? 19. Ita : Ya, si Muhdom! Kasihan, dia. (Melihat coretan, lalu geleng-geleng kepala 8 (delapan) kali) 20. Tarso : Bagaimana, Ta. Dia kan sahabatmu .... ? 21. Bakri : (Menahan marah) Gi-la! Pak Guru bilang begitu? 22. Ita : Bukan, bukan Pak Guru. 23. Bakri : Lalu si .... 24. Tarso : (Memotong) Tanjir yang ngomong. 25. Bakri : Tanjir yang berbicara dan kalian percaya? 26. Bardas : Habis, dia keluar dari ruangan guru terus bilang begitu. Siapa tidak percaya? (Semua terdiam, saling memandang. Sepi berlangsung tujuh detik. Ita berjalan pelan-pelan menuju bangku lalu duduk. Berpikir. Bakri mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Musik terdengar keras, gemuruh, lalu perlahan-lahan leyap). 27. Ita : (Berbicara lirih, tetapi terdengar jelas) lni gawat. 28. Tuti : Huh, kamu itu ...., sedikit-sedikit 'gawat'. Ulangan 'gawat', mau drama 'gawat'. (Mendekatinya dan berdiri di sampingnya) Apa yang tidak gawat bagi kamu? 29. Tarso : Aku pikir Ita benar. Pak kepala sekolah bisa marah sekali kalau melihat coretan-coretan ini. 30. Ita : Ya. Dengan susah payah Pak Dullah mengapurinya. Enak saja dicoret-coret begitu. Lagi pula, Prothols itu kan nama geng. Kita semua bisa dituduh anggota geng itu. 31. Tuti : Ah, kalian ini! Coba kalian pikir, coretan ini kan bukan kita yang bikin? Kenapa kita cemas? Tenang saja. Aku bawa Bakri kemari karena dia tidak percaya ada coretan ini. ltu saja. Celakanya, Bakri malah menuduh Nyoman yang membuatnya. Sialan! Lalu kalian mau ikut-ikut kemari . Ngapain? Aku mau ke depan. (Berjalan) 32. Bakri : Tuti, ke mana kamu? Tunggu dulu! lni gawat. Kita semua bisa ditahan di sekolah sampai biang keladinya ditangkap. 33. Tuti : Terus, kita semua mau kamu suruh apa? Sebentar lagi kita masuk. 34. Bakri : Aku mau bertanya, siapa yang kemarin sore datang ke sekolah menyelesaikan tugas membuat kliping? 35. Tarso : Kita semua, kan? 36. Bakri : Betul. Tapi siapa lagi? Kamu ingat, Ita? 37. Ita : Muhdom, Yuspar ..... 38. Bardas : (Menukas) Kamu sendiri, Tanjir, Nyo .... 39. Bakri : (Menukas) Nah, Tanjir juga ikut datang. Biasanya dia malas datang, kan? 40. Tuti : Benar. Tapi ..... 41. Tarso : Bukannya malas kalau dia sering tidak datang. Rumahnya jauh dan tidak ada yang mengantarkannya. 42. Bakri : Baik. Kalian tunggu di sini. Kalau ada bel masuk, jangan masuk dulu. Biar aku yang menanggung kalau Pak Guru marah. (Lari ke luar panggung) 43. Tuti : Bakri ke mana? 44. Tarso : Sudah Tut, di sini saja kamu. Taati saja perintah kapten kita. 45. Ita : Mau apa si Bakri? 46. Bardas : Aku benci cara-cara begini. Apa sih susahnya bilang nggak tahu kalau nanti Pak Guru bertanya soal coretan ini? Lagaknya kayak pahlawan. (Menirukan Bakri) "Aku yang menanggungnya." Enak saja. (Terdengar bel masuk). 47. Bardas : Dengar itu, aku mau masuk kelas. 48. Tuti : Jangan, Bardas! 49. Tarso : Bardas di sini saja. 50. Bardas : Nggak. Peduli amat. (Mau berjalan) 51. Ita : Bardas, jangan! 52. Tarso : Aku cubit kalau kamu nekat pergi. (Bakri masuk ke panggung dengan menyeret Tanjir dengan tangan kirinya. Tangan kanannya membawa tas milik Tanjir). 53. Bakri : (Memerintahkan Tanjir, napasnya terengah-engah) Duduk! 54. Tanjir : (Duduk) Apa maksud kalian? 55. Bakri : Dengar. Kamu kemarin pulang lebih dahulu sebelum kami pulang, bukan? 56. Tanjir : Ya. Lalu? Apa salahku? 57. Bakri : Tapi, sebenarnya kamu tidak terus pulang ke rumah. Sebab, ketika kami semua sampai di pintu gerbang halaman sekolah, kakakmu yang menjemputmu masih menunggu kamu di sana. Artinya, kamu masih berada di dalam lingkungan sekolah. Dan ini ... '(Bakri membuka tas Tanjir). Ada noda cat hitam pada tasmu. Cat ini sama dengan yang ada di tembok itu. lni artinya, waktu kamu pamit minta pulang lebih dulu, kamu datang kemari dan membuat coretan ini. Kamu naik di atas bangku ini. Lihat, (Menunjuk bangku) ada noda-noda hitam. lni cat yang sama. Tegakah kamu Tanjir, melihat Muhdom dihukum karena tuduhan membuat coretan yang sebenarnya kamu lakukan? Tegakah kamu mencoratcoret tembok yang putih bersih ini? Tegakah kamu melihat kita semua dimarahi Pak Guru? (Tanjir menunduk lalu menutup mukanya. Ia tampak tersedu-sedu. Yang lainnya memandangnya, lalu satu demi satu meninggalkannya. Tinggal Bakri memperhatikan Tanjir tersedu-sedu). 58. Bakri : (Menarik tangan Tanjir. Tanjir berdiri masih menutup mukanya). Sudahlah, jangan kamu lakukan lagi. Aku akan menemani kamu menghadap Bapak Kepala Sekolah. (Bakri merangkul Tanjir yang tetap menunduk. Berdua keluar dari panggung. Musik terdengar keras) Sumber: Bakdi Soemanto, "Cat Hitam Mendakwa" dalam Majalah Dinding Kumpulan Drama, Yogyakarta, Gama Media, 2006 4. Analisislah watak tokoh Tanjir dalam naskah drama tersebut.

124

4.5

Jawaban terverifikasi

Iklan

Iklan

Bola-Bola Waktu Oleh Rakhma Subarna Ivan menendang kerikil di jalan dengan kasar hingga terpelanting berhamburan. Debu mengepul dari kerikil-kerikil itu. Lagi-lagi ia dijadikan bahan tertawaan! Ini semua gara-gara kue basah Ibu! Setiap hari Ivan harus bangun pukul setengah empat pagi dan membantu Ibu membuat aneka kue basah. Ivan juga harus pergi lebih pagi untuk mengantarkan kue-kue itu ke beberapa warung menuju sekolah. Hal yang paling memalukan, Ivan menitipkan kue itu juga di kantin sekolah! Ketika Fiam, anak paling usil di kelasnya tahu, ia segera mengejek Ivan. Dan begitu Fiam memulai, julukan “tukang kue” untuknya pun langsung diikuti teman-teman sekelas. Seolah belum cukup memalukan, bangun pagi dan rasa lelah bekerja sejak subuh membuat Ivan sering tertidur saat pelajaran. “Wah, tukang kue mau alih profesi jadi tukang tidur,” ejek Fiam yang memancing tawa sekelas. Ivan masih menendang kerikil-kerikil itu. “Aku tidak mau lagi!” teriak Ivan dalam hatinya. “Aku tidak mau lagi berjualan kue. Aku ingin menjadi anak SMP yang keren dan dikagumi oleh teman-temanku!” “Kau yakin?” Ivan menengok. Seorang pria berkerudung hitam memandangnya. Bibir pria itu tersenyum ramah. Di meja di hadapannya tergeletak aneka bola warnawarni. Ivan memandang pria itu sambil mengerutkan alisnya. Apakah dia peramal? tanya Ivan dalam hati. “Kau ingin melihat apa yang terjadi apabila kau berhenti berjualan kue?” Ragu-ragu, Ivan mengangguk. Ia lalu mengambil bola merah yang disodorkan pria itu. Seketika, tubuhnya terasa ringan, dunia di sekitarnya berputar. Ivan terkesiap. Ia terbangun di sebuah kamar yang terasa asing. Dengan heran, ia menatap Nina dan Danu, adiknya. Mengapa mereka tidur di sini? Ivan menatap sekeliling. Kamar itu sempit, pengap, dan terutama sangat berantakan! Barang-barang miliknya tergeletak di mana saja, sementara tumpukan buku koleksi Nina dan mainan Danu memenuhi sudut-sudut kamar. “Pukul 06.00? Aku terlambat untuk membuat kue!” Ivan segera berdiri dan keluar kamar. “Kamu sudah bangun, Van?” suara Ibu menyapanya. Mata Ivan membelalak lebar melihat kerut-kerut yang bertambah di wajah Ibu dan kelelahan yang tergambar jelas di sana. “Syukurlah. Ibu pergi dahulu, ya. Jangan lupa, antar adik-adikmu ke sekolah.” Ivan termangu. Ia menatap sosok Ibu yang membawa kotak-kotak berisi aneka kue basah. Jadi, tampaknya mereka masih berjualan kue basah. Hanya, kali ini, Ibu tidak meminta bantuannya. Akhirnya, Ivan terbebas dari tugasnya! Lalu, di mana Ayah? Biasanya Ayah yang mengantar Ibu untuk pergi berjualan. Ivan memandang ke sekeliling ruangan. Saat itulah Ivan menatap sebuah foto berbingkai hitam di dekat meja makan. Di dalamnya, wajah lelah ayahnya tersenyum ramah. “Van, nanti siang jangan lupa latihan basket, ya. Minggu depan kita lawan SMP Bina Bangsa.” Ivan hanya mengangguk lesu. Sekarang ia tahu, ia berada di tahun 2022. Tidak ada lagi teman-teman sekelas yang mengejeknya. Malah bisa dikatakan, ia memiliki cukup banyak teman. Nilai-nilainya bukan yang terbaik, tetapi bukan pula yang paling jelek. Ia berhasil masuk tim basket selama dua tahun berturut-turut. Semua tampak sempurna. Namun, mengapa Ivan menyesal berada di tahun ini? Tadi pagi ia mengetahui bahwa ayahnya tidak lagi bersama mereka. Ayah meninggal karena sakit. Kata Ibu, Ayah sering mengabaikan sakit yang dideritanya dan berkeras membantu Ibu. Ayah bahkan menolak tawaran Ibu untuk membayar seorang pekerja. Ayah ingin hasil penjualan kue ditabung untuk biaya kuliah Ivan nanti. “Hai, Van! Apakah Ibumu sudah sembuh? Mamaku ingin pesan kue basah untuk arisan, tetapi Ibumu bilang ia sedang tidak enak badan.” Perkataan Hario menyadarkan Ivan lagi dari lamunannya. Ivan menunduk. Ia teringat wajah menua dan lelah ibunya tadi pagi, bahkan Ibunya tidak mengatakan kepadanya bahwa ia sedang sakit. Ivan menelengkupkan kepala di atas meja. Andai saja penyesalan bisa memutar kembali waktu, ia lebih memilih membantu kedua orang tuanya berjualan kue. Matanya terasa panas. Kepalanya terasa berputar. Ivan mengerjap. Seseorang mengguncang tubuhnya lembut. “Ivan, bangun, Nak.” Ivan memicingkan mata. Ia mengenal suara tegas tetapi lembut itu. “Ayah! Syukurlah!” Ivan segera tersadar dan memeluk ayahnya erat. “Wah, wah, wah …! Tadi kamu mimpi buruk, ya?” Pagi masih gelap saat Ivan melihat ke luar jendela. Ivan tahu ia harus bangun lebih pagi karena mereka mendapat pesanan kue untuk acara pernikahan dan rapat di kantor RW. Memikirkan pesanan kue itu, Ivan melompat dari tempat tidur dengan penuh semangat. “Ayah, Ibu, tahu nggak? Kue-kue basah buatan Ibu ini banyak yang suka, loh!” cerita Ivan. Untuk sesaat, Ayah dan Ibu saling memandang dan menyimpan senyum geli. Mungkin mereka heran melihat Ivan yang tak lagi menggerutu dan malas-malasan saat membantu. “Eih, aku serius loh ini,” tambah Ivan lagi melihat reaksi kedua orang tuanya. “Van, kamu nggak apa-apa, Van?” suara Hario terdengar cemas dan makin jauh. Lalu segalanya gelap. Ayah tergelak. Ia mengusap kepala Ivan dengan lembut, “Tentu saja kami tahu, ini kan resep warisan turun-temurun!” Tepat pukul 05.00, kue-kue basah nan cantik telah siap. Harum manis kue memenuhi rumah. Meski lelah, Ivan merasa bangga melihat kue-kue yang baru ditatanya. Rasanya ia makin mahir menata kue-kue ini. “Van, tolong masukkan setiap jenis ke dalam kotak untuk pesanan kawinan dan Pak RW, ya. Biar Ayah yang menyiapkan untuk dibawa ke pasar. Ibu mau membuat sarapan dahulu sebelum adik-adikmu bangun,” kata Ibu. Ivan mengangguk. Saat memasukkan kue-kue ke dalam setiap kotak, sebuah ide melintas dalam benaknya. Masih ada 30 menit sebelum ia harus bersiap ke sekolah. Ivan mengambil selembar kertas, lalu segera menggambar sebuah kotak berisi aneka kue cantik. “Camilan Cantik Akhir Minggu,” begitu Ivan memberi judul gambar tersebut. Di bagian bawah gambar, Ivan menulis, “Untuk pemesanan, hubungi Ivan – kelas VII B.” 1. Siapakah nama tokoh cerita Bola-Bola Waktu?

45

3.0

Jawaban terverifikasi

Judul : Negeri 5 Menara Pengarang : A. Fuadi Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit : Tahun 2009 Jumlah halaman : Xii + 423 halaman Kota tempat terbit : Jakarta Kategori : Novel/Fiksi Harga : Rp 50.000,00 Ukuran Novel : 19,7 x 13,7 cm Ahmad Fuadi lahir di Bayur, kampung kecil di pinggir danau Maninjau. tahun 1972, tidak jauh dari kampung Buya Hamka. Fuadi merantau ke Jawa, mematuhi perintah ibunya untuk masuk ke sekolah agama. Di pondok modern Gontor, dia bertemu kiai dan ustad yang diberi keikhlasan mengajarkan ilmu hidup dan akhirat. Gontor pula yang mengajarkan kepadanya ”mantra” sederhana yang sangat kuat , mad jadda wajjada, siapa yang bersungguh sunguh akan sukses. Lulus kuliah Hubungan Iternasional, UNPAD, dia menjadi Wartawan majalah TEMPO. Kelas jurnalistik pertamanya dijalani dalam tugas-tugas reportase di bawah bimbingan para wartawan senior. Tahun 1999, dia mendapat beasiswa Fulbright untuk kuliah S-2 di school of Media and Publicc Affairis, George Washington University,USA. Merantau ke Washington DC bersama Yayi, istrinya-yang juga wartawanTempo-adalah mimpi masa kecilnya yang menjadi kenyataan. Sambil kuliah, mereka menjadi koresponden Tempodan wartawan Voice of Amerika (VOA). Berita bersejarah sejarah seperti tragedi 11 september dolaporkan mereka berdua langsung dari Pantagon, white House dab Capitol Hill. Tahun 2004, jendela dunia lain terbuka lagi ketika dia mendapatkan beasiswa Chevening Award untuk belajar di Royal Holloway, University of London untuk bidang film dokumenter. Seorang Scholarship Hunter, Fuadi selalu bersemangat melanjutkan sekolah dengan mencari beasiswa. Sampai sekarang, Fuadi telah mendapat 8 beasiswa untuk belajar di luar negeri. Dia telah mendapatkan kesempatan tinggal dan belajar di Kanada, Singapura, Amerika Serikat dan Inggris. Penyuka fotografi ini pernah menjadi Direktur Komunikasi The Nature Conservancy, sebuah NGO konservasi internasional. Kini, Fuadi sibuk menulis, jadi pembicaraan dan motivator. Ia mulai menggarap film layar lebar Negeri 5 Menara serta membangun yayasan sosial untuk membantu pendidikan orang yang tidak mampu-Komunitas Menara. Negeri 5 Menara telah mendapat beberapa penghargaan, antara lain Nominasi Khatulistiwa Award 2010 dan Penulis dan Buku Fiksi Terfavorit 2010 versi Anugerah Pembaca indonesia Twitter : @fuadi1 (pakai angka 1) Facebook fanpage : Negeri 5 Menara Email : [email protected] Email untuk mengundang : [email protected] SINOPSIS Alif lahir di pinggir Danau Maninjau dan tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Alif dari kecil sudah bercita-cita ingin menjadi B.J Habibie, maka dari itu selepas tamat SMP Alif sudah berencana melanjutkan sekolah Ke SMU negeri di Padang yang akan memuluskan langkahnya untuk kuliah dijurusan yang sesuai. Namun, Amak menginginkan Alif jadi penerus Buya Hamka, membuat mimpi Alif kandas. Alif diberi pilihan sekolah di sekolah agama atau mondok di pesantren. Sempat marah tapi akhirnya Alif ikhlas karena alif tidak ingin mengecewakan harapan orang tua khususnya ibu, alif pun menjalankan keinginan ibunya dan masuk pondok. Atas saran dari pamannya dikairo alif kecil pun memutuskan untuk melanjutkan sekolah di pondok yang ada di Jawa Timur : PONDOK MADANI. Walaupun awalnya amak berat dengan keputusan Alif yang memilih pondok di Jawa bukan yang ada di dekat rumah mereka dengan pertimbangan Alif belum pernah menginjak tanah diluar ranah minang, namun akhirnya ibunya merestui keinginan Alif itu. Awalnya Alif setengah hati menjalani pendidikan dipondok karena dia harus merelakan cita-citanya yang ingin kuliah di ITB dan menjadi seperti Habibie. Namun kaliamat bahasa Arab yang didengar Alif dihari pertama di PM (pondok madani )mampu mengubah pandangan alif tentang melanjutkan pendidikan di Pesantren sama baiknya dengan sekolah umum. ” mantera” sakti yang diberikan kiai Rais (pimpinan pondok ) man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil. Dan Alif pun mulai menjalani hari-hari dipondok dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh. Di PM Alif berteman dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan si jenius Baso dari Gowa, Sulawesi. Ternyata kehidupan di PM tidak semudah dan sesantai menjalani sekolah biasa. Hari-hari Alif dipenuhi kegiatan hapalan Al-Qur’an, belajar siang-malam, harus belajar berbicara bahasa Arab dan Inggris di 6 Bulan pertama. Karena PM melarang keras murid-muridnya berbahasa Indonesia, PM mewajibkan semua murid berbahasa Arab dan Inggris. Belum lagi peraturan ketat yang diterapkan PM pada murid yang apabila melakukan sedikit saja kesalahan dan tidak taat peraturan yang berakhir pada hukuman yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya. Tahun-tahun pertama Alif dan ke 5 temannya begitu berat karena harus menyesuaikan diri dengan peraturan di PM. Hal yang paling berat dijalani di PM adalah pada saat ujian, semua murid belajar 24 jam nonstop dan hanya beberapa menit tidur. Mereka benar-benar harus mempersiapkan mental dan fisik yang prima demi menjalani ujian lisan dan tulisan yang biasanya berjalan selama 15 hari. Namun disela rutinitas di PM yang super padat dan ketat. Alif dan ke 5 selalu menyempatkan diri untuk berkumpul dibawah menara mesjid, sambil menatap awan dan memikirkan cita-cita mereka kedepan. Ditahun kedua dan seterusnya kehidupan Alif dan rekan-rekannya lebih berwarna dan penuh pengalaman menarik. Di PM semua teman, guru, satpam, bahkan kakak kelas adalah keluarga yang harus saling tolong menolong dan membantu. Semua terasa begitu kompak dan bersahabat, sampai pada suatu hari yang tak terduga, Baso , teman alif yang paling pintar dan paling rajin memutuskan keluar dari PM karena permasalahan ekonomi dan keluarga. Kepergian Baso, membangkitkan semangat Alif, Atang, Dulmajid, Raja dan Said untuk menamatkan PM dan menjadi orang sukses yang mampu mewujudkan cita-cita mereka menginjakkan kaki di benua Eropa dan Amerika. Kini semua mimpi kami berenamtelah menjadi nyata. Kami berenam telah berada lima Negara yang berbeda, sesuai dengan lukisan dan imajinasi kita di awan. Aku (Alif) berada di Amerika, Raja di Eropa, sementara Atang di Afrika, Baso berada di Asia, sedangkan Said dan Dulmajid sangat nasionalis mereka di Negara kesatuan Indonesia tercinta. Di lima menara impian kami. Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Pendengar. Man jadda wajadda, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil. Gaya bahasa yang digunakan menggabungkan kejelian observasi seorang reporter dan kekalisan jelajah imajinasi literer dalam Negeri 5 Menara yang inspiratif. Dengan deskripsi ruang yang nyaris sempurna, A.Fuandi berhasil memetakan seluk-beluk pesantren modern yang selama ini hanya menjadi cerita dari mulut ke mulut. Dinamika kehidupan internal pesantren berpadu mulus dengan riuhnya suasana global di jantung peradaban modern yang serba bergegas. Sebuah Novel yang membuktikan bahwa tak ada hal yang tak bisa dicapai manusia di dalam hidupnya. A.Fuandi berhasil membuat banyak orang ingin tahu lebih dalam tentang dunia pesantren sebagai pusat keunggulan, termasuk kalangan non-muslim. Penelusuran jejak-jejak pesahabatan dan pencapaian cita-cita diramu dalam kisah yang sekaligus melibatkan petualangan, religi, dan wawasan yang mengesankan. Gontor menanamkan berbagai nilai-nilai pendidikan, nilai kejuangan, nilai kebersamaan, sehingga murid-murid terdidik secara total untuk berkarya penuh totalitas di masyarakat. Kata “man jadda wa jadda” akan senantiasa memotivasi setiap anak dan akan melahirkan kesuksesan dimasa depan mana kala diikuti dengan kreatifitas, ketabahan dan keikhlasan. Tidak ada kebetulan di dunia ini. Semua atas izin Allah dan usaha manusia. Buku ini telah menjadi bukti yang inspiratif. Ditulis dalam bahasa yang ringan. Terkadang serius namun lebih sering kocak. Kesimpulanya "man jadda wa jadda" artinya "yang penting usaha," maka Allah akan membukakan jalan ke jendela dunia. Kelemahan dari Novel Negeri 5 Menara adalah klimaks cerita kurang menonjol sehingga para pembaca merasa dinamika cerita sedikit datar. Setelah selesai membaca, pembaca merasa cerita belum selesai setuntas-tuntasnya. Hal ini mungkin disebabkan karena penulis mendasarkan ceritanya pada kisah nyata dan tidak ingin melebih-lebihkannya. Novel ini berkisah tentang generasi muda bangsa yang penuh motivasi, bakat, semangat, dan optimisme untuk maju dan tidak kenal menyerah, merupakan pelajaran yang amat berharga bukan saja sebagai karya seni, tetapi juga tentang proses pendidikan dan pembudayaan untuk terciptanya sumberdaya insani yang handal. Fuandi mengelola nostalgia menjadi novel yang menyentuh sekaligus menjadi diskusi kritis yang bersimpatik tentang pendidikan kehidupan. Novel ini harga buku yang cukup mahal bagi kantong pelajar, tidak ada illustrasi atau gambar nama-nama pelaku pada novel ini kurang jelas, dan alur yang digunakan campuran, sehingga cerita menjadi sedikit rumit. Sebutkan komentar negatif dalam tanggapan novel "Negeri 5 Menara" di atas !

61

5.0

Jawaban terverifikasi