Iklan
Iklan
Pertanyaan
Perhatikan artikel berikut!
Rezim Khmer Merah: Rekayasa Sosial Terbrutal dalam Sejarah Kamboja
Kamboja pernah mengalami perubahan radikal di era kekuasaan rezim komunis-maois. Pada 1975—1979, negara itu dikelola pasukan Khmer Merah yang mendukung Partai Komunis Kampuchea (CPK), dan tercatat sebagai salah satu fase paling berdarah dalam sejarah Asia Tenggara. Khmer Merah dibangun pelan-pelan sepanjang dekade 1960-an di hutan-hutan sebelah timur Kamboja. Mereka didukung tentara Vietnam Utara, Viet Cong (organisasi massa penentang agresi Amerika Serikat dan Vietnam Selatan), dan Pathet Lao (gerakan komunis di Laos).
Amerika Serikat melakukan pengeboman besar-besaran dari pesawat tempur selama Perang Vietnam, termasuk untuk menghancurkan basis kekuatan Khmer Merah. Meski demikian, Khmer Merah tetap mampu memenangkan Perang Sipil Kamboja yang telah berlangsung sejak 17 Januari 1968. Pada 17 April 1975, tepat hari ini 44 tahun lalu, pasukan Khmer Merah sukses merebut ibu kota Phnom Penh. Time mencatatnya sebagai capaian yang tidak terlalu mengejutkan. Selama perang berlangsung, tentara komunis-maois itu terus-menerus meningkatkan kekuatannya. Di sisi lain AS telah mundur dari ibu kota, sehingga kejatuhannya tinggal menunggu waktu.
Pol Pot, Nuon Chea, Ieng Sary, Son Sen, dan Khieu Samphan memimpin rezim baru. Pol Pot menjadi yang paling berkuasa sebab memegang jabatan sebagai perdana menteri sekaligus ketua politbiro dan komite sentral CPK. Mereka mengubah nama negara menjadi Kampuchea (per 1976 menjadi Democratic Kampuchea), nama yang lebih disukai golongan komunis ketimbang “Cambodia” (Kamboja).
Rekayasa Sosial Penuh Kekejaman
Selanjutnya adalah apa yang para sejarawan sebut sebagai “rekayasa sosial” yang radikal. Masyarakat Kampuchea diisolasi dari semua pengaruh asing. Rakyat kota diungsikan semua ke area pedesaan. Bank diberhentikan operasionalnya. Sekolah, rumah sakit, dan sejumlah pabrik juga ditutup. Sebagaimana rezim menyatakan negara akan memulai “Tahun Nol”, Pol Pot ingin masyarakat Kampuchea “terlahir kembali” melalui kolektivisme dan swasembada absolut. Ia percaya kebijakan itu akan turut merangsang daya produksi kerajinan dan kemampuan industri negara di masa depan. Ada banyak literatur yang membahasnya secara rinci, salah satunya Sean Bergin dalam The Khmer Rouge and the Cambodian Genocide (2008). Pertama-tama rezim Khmer Merah menjalankan evakuasi penduduk Kota Phnom Penh ke wilayah pedesaan. Mereka dipaksa meninggalkan profesi lama untuk terjun membuka lahan persawahan serta mengelola dan memanen padi. Kecuali yang punya kemampuan teknis, mereka dibawa kembali ke kota untuk menjalankan pabrik-pabrik. Di titik ini genosida sebenarnya sudah berlangsung. Long march yang dilakoni ribuan warga kota ke daerah pinggiran membunuh anak-anak, orang tua, dan orang sakit.
Mereka yang akhirnya sampai di lokasi pun mendapat siksaan serupa karena setiap hari dipaksa kerja dalam waktu yang lama dan dalam kondisi yang mengenaskan. Istirahat dan makan adalah dua hal yang berharga amat mahal. Banyak yang akhirnya meregang nyawa karena tenaganya habis, kelaparan akut, atau diterpa penyakit mematikan seperti malaria. Para pekerja akan dieksekusi jika berusaha kabur dari komune-komune. Pelanggaran aturan, meski yang sepele, juga akan diganjar risiko berat. Pelanggar biasanya akan dipisahkan diam-diam dari pekerja lain, dibawa ke hutan atau persawahan terpencil setelah matahari terbenam, lalu dieksekusi mati. Entah di tataran elite atau rakyat biasa, pemerintahan Khmer Merah menangkap, menyiksa, maupun mengeksekusi orang-orang yang dianggap sebagai “musuh negara”. Seratus lima puluh penjara dibangun untuk para musuh politik, termasuk dengan mengalihfungsikan gedung-gedung sekolah. Para korban digolongkan menjadi lima kategori menurut Rebbeca Joyce Frey dalam Genocide an International Justice (2009).
Pertama, orang-orang yang punya koneksi dengan pemerintahan sebelumnya, entah itu Republik Khmer, militernya, atau wakil-wakil pemerintahan luar negeri. Kedua, kaum profesional dan intelektual, termasuk mereka yang mengenyam pendidikan tinggi dan mereka yang mengerti bahasa asing. Banyak dari mereka yang berstatus sebagai seniman, musisi, sastrawan, dan pembuat film. Ketiga, etnis Vietnam, etnis Cina, etnis Thailand, dan minoritas lain yang menghuni dataran tinggi sebelah timur. Termasuk juga minoritas Katolik, Muslim, dan biksu-biksu Buddha senior. Katedral Katolik di Phnom Penh dihancurkan. Rezim memaksa umat Islam untuk memakan daging babi. Mereka yang menolak menemui eksekusi mati. Keempat, para “penyabot ekonomi”, yakni mantan penduduk kota yang dianggap bersalah karena tidak mampu menjalankan tugas agrarisnya. Kelima, anggota partai yang dianggap sebagai pengkhianat. Mereka disiksa atau dihilangkan nyawanya—termasuk tokoh senior seperti Hu Nim.
Diadaptasi dari tirto.id pada 2 Februari 2022
Kesimpulan yang tepat terkait golongan rakyat korban kekejaman rezim Khmer Merah berdasarkan teks tersebut adalah ....
kelompok penulis dan nelayan beraliran moderat
kelompok petani yang bekerja keras dan penuh dedikasi
kelompok intelektual yang memiliki keahlian dan profesionalisme
kelompok mayoritas yang bermukim di jantung Ibu Kota Phnom Penh
kelompok komunis dan sosialis yang memiliki afiliasi dengan rezim Khmer Merah
Iklan
A. Masturina
Master Teacher
5
0.0 (0 rating)
Iklan
Iklan
RUANGGURU HQ
Jl. Dr. Saharjo No.161, Manggarai Selatan, Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12860
Produk Ruangguru
Bantuan & Panduan
Hubungi Kami
©2024 Ruangguru. All Rights Reserved PT. Ruang Raya Indonesia